15 Game Berbahaya untuk Anak!

manhunt 2
At least dari apa yang gua lihat terjadi di Indonesia. Minim isu yang mesti dibicaraiin, minim kontroversi yang harus dibahas, minim sesuatu yang mesti gua ngebacot gak jelas di KIMOCHI-blog. Tapi sepertinya memang kedamaian gak akan bertahan begitu lama. Ketika kita semua ngerasa kalau mungkin orang awam udah mulai paham soal gaming sebagai hobi, selalu ada sumber informasi ekstra yang ngebuat kita ngerasa kalau mungkin harapan tersebut masih terlalu tinggi. Lebih enggak serunya kalau dia muncul dari instansi pemerintah yang seharusnya ngasih pengetahuan lebih solid soal isu-isu yang berkembang di masyarakat, apalagi ke kelompok yang memang informasinya minim.
Kali ini datang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang lewat situs Sahabat Keluarga, ngerilis 15 game yang mereka sebut “berbahaya” untuk anak. List game yang ini memang rasional dan enggak terlalu jadi sesuatu yang mesti dibicaraiin, tetapi enggak bisa dipungkiri, kalau memang ada banyak kejanggalan yang mesti kita bahas. Salah satu yang terbaru yang gua baca adalah usaha untuk melakukan aksi pemblokiran, yang gua sendiri masih belum tahu seperti apa definisi tepat “pemblokiran” ini. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang sepertinya lagi hobi ngeblokir sana-sini, kabarnya lagi nunggu aduan resmi dari Kemendikbud supaya bisa ngeblokir game-game yang ada di list ini. Oh ya Pak Menteri, jangan blokir kita gara-gara NgeRacau ini, please.
Oke, ini mengkhawatirkan buat gua pribadi dan mungkin sebagian besar gamer di Indonesia. Mengapa? Karena kita butuh definisi pasti soal “pemblokiran” ini. Seolah lupa bahwa video game enggak cuman buat anak kecil, akan aneh kalau semua proses ini berakhir dengan pencegahan masuknya game-game ini di Indonesia. Kalau sampai berakhir dengan hasil seperti ini, ini enggak bedanya sama kayak lu enggak bisa nonton Deadpool di bioskop karena itu film superhero enggak cocok buat anak umur 5 tahun. Terdengar aneh? Banget.

Sumber

Pertama, gua pastinya enggak akan langsung percaya dengan informasi yang gua dapetin di dunia maya begitu aja. Ngeklik sana-sini, dan gua akhirnya berakhir di situs Sahabat Keluarga yang memang didesain oleh Kemendikbud untuk memuat beragam informasi ekstra untuk keluarga-keluarga Indonesia. Which di atas, sangat bagus. Karena dia enggak cuma ngebahas soal isu yang lagi hangat saja, tetapi juga isu-isu sensitif seperti pendidikan seksual untuk remaja, soal kebiasaan nonton televisi, dan juga peran orang tua. Dengan video game yang sekarang udah enggak bisa dipisahin dari kehidupan manusia modern, terutama anak-anak, ngebahas soal video game adalah sesuatu yang enggak bisa lagi dihindari. Oleh karena itu, sangat bisa dimengerti.

Pak Anies jelas mengerti soal badan rating game.
Pak Anies jelas mengerti soal badan rating game.
Kedua, gua sebenarnya sangat positif dengan sosok Bapak Anies Baswedan sendiri karena beliau sepertinya sangat mengerti apa itu industri game dan bagaimana cara dia bekerja. Di salah satu artikel yang berjudul “Orang Tua Wajib Pahami Kategori Game Online”, Pak Anies jelas-jelas tahu dan mengerti soal sistem rating umur untuk video game. Beliau lewat siaran pers bahkan meminta orang tua Indonesia untuk mulai sadar dan menggunakan badan rating seperti ESRB untuk menentukan dan memilih game yang cocok sesuasi dengan usia anak. Pengetahuan yang bahkan enggak bisa gua bayangin bisa muncul dari sosok seorang Menteri, yang di mata anak muda sekarang, seringkali diasosiasikan dengan kata “kolot” dan “tidak mau tahu”. Pak Anies jelas tahu cara industri game bekerja, dan tahu bahwa tidak semua video game didesain untuk anak-anak. Ini adalah awal yang sangat sangat baik untuk kita gamer Indonesia. Bahwa apa yang berusaha kita suarakan keluar bahwa video game adalah media hiburan yang tak berbeda dengan musik ataupun film. Jika orang tua tak ingin anaknya menonton film orang dewasa, maka sepantasnya juga mereka tak ingin anak-anaknya bermain game orang dewasa.

Sebagai sumber pertama, Sahabat Keluarga ngebahas dua kali soal game berbahaya untuk anak ini.
Sebagai sumber pertama, Sahabat Keluarga ngebahas dua kali soal game berbahaya untuk anak ini.
Pas berusaha dibuka? Dua-duanya akan langsung ngebawa lu ke halaman Home. Dihapus? atau kesalahan teknis?
Pas berusaha dibuka? Dua-duanya akan langsung ngebawa lu ke halaman Home. Dihapus? atau kesalahan teknis?
Foto dari edaran yang gua dapat dari teman.
Foto dari edaran yang gua dapat dari teman.
Tapi ada yang aneh di situs Sahabat Keluarga itu sendiri. Berusaha mencari sumber untuk “15 Game Berbahaya” yang terus berdengung di dunia maya selama beberapa hari terakhir ini, kami akhirnya menemukan dua tautan artikel yang masing-masing dirilis di tanggal 6 April 2016 dan 15 Maret 2016, yang keduanya bertajuk “Game Berbahaya untuk Anak”. Namun apa yang kami dapatkan ketika berusaha masuk ke dalamnya? Ditendang ke halaman depan. Entah karena kesalahan teknis atau bukan, namun proses seperti ini terjadi biasanya karena konten dalam artikel sendiri sudah dihapus atau disembunyikan sehingga gak bisa lagi diakses. Apakah ini sinyal bahwa Sahabat Keluarga mencabut rekomendasi  mereka sendiri dan melihat listing ini sebagai error yang butuh lebih banyak penelitian? Gua sendiri enggak tahu. Tapi satu-satunya sumber saat ini mengakar dari lansiran berita dari banyak media.

Game “Berbahaya” untuk Anak

 

Oke, sekarang mari kita bahas soal pokok persoalannya. Dari beragam sumber berita yang gua dapetin, Kemendikbud via Sahabat Keluarga ini ngelemparin 15 judul game yang menurut mereka “berbahaya” untuk anak. Reaksi pertama gua? Gua mau tahu dulu apa itu definisi “anak”. Jika merujuk pada informasi yang gua baca di dunia maya berdasarkan beragam Undang-Undang di Indonesia adalah mereka yang masih belum mencapai umur 18 tahun. Jadi semua yang belum berumur genap 18 tahun masih dikategorikan sebagai “anak”. Bisa disederhanakan, bahwa list yang dituliskan di atas ini adalah 15 game yang menurut Kemendikbud tidak pantas untuk dimainkan oleh anak-anak Indonesia berumur di bawah 18 tahun. Setidaknya kita punya landasan terlebih dahulu buat ngobrolin soal ini.
Sebelum gua berakhir ngobrol lebih panjang, apa aja 15 game yang disebut-sebut ini? Ini adalah list yang gua lansir dari beragam media massa online:
  1. World of Warcraft
  2. Call of Duty
  3. Point Blank
  4. Cross Fire
  5. War Rock
  6. Counter Strike
  7. Mortal Kombat
  8. Future Cop
  9. Carmageddon
  10. Shelshock
  11. Rising Force
  12. Atlantica
  13. Conflict Vietnam
  14. Bully
  15. Grand Theft Auto
Oke, sekarang kita lihat rating ESRB dan PEGI untuk masing-masing game ini:
  1. World of Warcraft (ESRB: Teen, PEGI: 12)
  2. Call of Duty (ESRB: M, PEGI: 18)
  3. Point Blank (Tak Terdaftar)
  4. Cross Fire (ESRB: T, PEGI: tak terdaftar)
  5. War Rock (ESRB: T, PEGI: 16)
  6. Counter Strike (ESRB: M, PEGI: 16)
  7. Mortal Kombat (ESRB: M, PEGI: 18)
  8. Future Cop (ESRB: T, PEGI: 16)
  9. Carmageddon (ESRB: M, PEGI: tak terdaftar)
  10. Shellshock (ESRB: M, PEGI: 18)
  11. Rising Force (Tak Terdaftar)
  12. Atlantica (ESRB: T, PEGI: tak terdaftar)
  13. Conflict Vietnam (ESRB: M, PEGI: tak terdaftar)
  14. Bully (ESRB: T, PEGI: 16)
  15. Grand Theft Auto (ESRB: M, PEGI: 18)
Jika melihat hampir sebagian besar rating yang ada, maka pemilihan daftar game berbahaya untuk anak dari Kemendikbud ini perlu kita berikan acungan jempol. Karena benar, semua game di atas memang ditujukan untuk mereka yang sudah berumur 18 tahun ke atas, walaupun harus diakui, beberapa di antaranya sudah bisa dicicipi oleh mereka yang berumur 16 tahun. Seharusnya daftar ini enggak aneh kalau memang ia dibaca sama orang yang enggak ngerti sama video game. Tapi buat gamer, ada banyak kejanggalan di sini.

Negeri Minim Penjelasan


Apa yang membuat sistem rating seperti ESRB dan PEGI bisa diandalkan? Karena dia enggak cuman serta-merta nempelin rating umur yang sesuai dengan game yang ada, ia juga dihasilkan lewat sebuah proses yang bisa dipercaya. The best part? Penjelasan yang deskriptif. Ketika ESRB atau PEGI netapin apa saja game yang gak boleh dimainin sama kelompok umur game tertentu, mereka ngejelasin konten seperti apa yang membuat keputusan itu diambil. Apakah punya konten darah di dalamnya, punya konten ketelanjangan yang eksplisit, apakah sekedar adegan minum alkohol, atau mungkin sekedar aksi kekerasan yang tak realistis? Mereka punya standar dan mengambil keputusan atas standar tersebut. Dan yang gua dapatin dari list 15 game “berbahaya” untuk anak dari Kemendikbud ini? Lebih banyak tanda tanya.
Karena list ini seperti diracik oleh orang yang gak pernah main video game sebelumnya atau punya pengetahuan yang mendalam soal itu. Besar kemungkinan, ia mungkin nyobaiin beberapa video game tanpa keseluruhan atau sekedar mendengar bisikan dari orang-orang tertentu dan langsung ngelemparin list tanpa melakukan research lebih dalam. Apa yang membuat gua berpikiran demikian? Berikut adalah kejanggalan yang gua lihat:
Pertama, hampir semua game online, apapun bentuknya, tidak akan pernah cocok untuk anak-anak. Mengapa? Karena seperti semua media yang mengandalkan konektivitas internet, lu enggak akan pernah tahu dengan siapa lu berhadapan di dunia virtual ini. I mean, gua selalu nekanin bahwa anak lu / keponakan lu / adik kecil lu mungkin bisa aja main sebuah game online dengan tema kuda poni super lucu yang tugasnya cuman nyisirin poni atau lompatin pager, tapi lu enggak tahu dengan siapa mereka berinteraksi, apalagi kalau game tersebut punya fungsi text chat atau bahkan, voice chat.
Club Penguin
Mereka bisa aja ketemu orang dewasa dengan perilaku seksual menyimpang seperti pedofil yang memang sekedar nongkrong di situ, misalnya. Atau ketemu sama anak remaja bosan yang terus ngelemparin kata-kata kotor via voice chat atas nama “iseng” dan “jenuh” doank. Kita enggak pernah bisa ngendaliin konten seperti apa yang lu dapetin di game online, apapun temanya. Dan itu selalu jadi bumerang game online. Permasalahan game online itu jarang soal konten  karena seberapa besar pun konten kekerasan yang ia usung dan animasi serangan yang ada, lu enggak akan ketemu yang gore sampai mutilasi segala macem. Jadi agak aneh, kalau list di atas hanya nge-list beberapa game online saja. Mau larang anak kecil “aman” main game online? Jangan kasih game online yang ada fitur text chat atau voice chat. Better begitu daripada pilih-pilih tema yang sebenarnya kentara sensasi fantasinya.
Future Cop - game PS1 tahun 1998.
Future Cop – game PS1 tahun 1998.
Conflict Vietnam tahun 2004 untuk PS2.
Conflict Vietnam tahun 2004 untuk PS2.
Totally my reaction..
Totally my reaction..
Kedua, umur. List di atas adalah list ter-absurd untuk game-game yang menurut gua pribadi, bisa dibilang relevan. Game-game yang dipilih di atas justru buat gua makin yakin kalau siapapun yang ditugaskan untuk ngeracik daftar dan milih game-game di atas memang enggak familiar sama industri game itu sendiri. Contoh? Gua belum pernah ketemu anak bocah yang main World of Warcraft server resmi karena itu butuh biaya bulanan dan butuh kartu kredit buat langganan. Kedua, umur banyak game di atas udah sangat-sangat basi. Future Cop itu game keluaran tahun 1998 untuk Playstation Pertama, Bully itu game tahun 2006, Conflict Vietnam itu game tahun 2004, dan gua even gak yakin masih ada orang yang main Rising Force (RF). Ini list sudah terlambat setidaknya 10-15 tahun untuk dirilis! Lantas, untuk apa gunanya kalau ngebuat daftar game beginian saja enggak bisa berakhir jadi sesuatu yang relevan? “Ayo kita nge-ban game yang udah gak dimainin sama orang-orang!”. Genius.

Ketiga, penjelasan. Ini mungkin yang menurut gua pribadi paling ngecewaiin. Kalau Indonesia mulai peduli dengan apa yang “dimakan” sama anak-anak Indonesia via televisi, musik, atau video game, mari belajar untuk ngasih penjelasan yang lebih deskriptif ke orang tua alasan di baliknya. Kenapa gak boleh World of Warcraft, atau Bully, atau Grand Theft Auto, atau mungkin Call of Duty? Karena terlepas usaha untuk terus mengasosiasikan video game dengan hal-hal yang berbau negatif, Kemendikbud gua pribadi yakin, sebenarnya punya informasi soal dampak positif yang juga bisa ia hasilkan. Informasi yang sebenarnya bisa dipakai untuk mendorong orang tua untuk TIDAK MELIHAT video game sebagai sesuatu yang murni “jahat”, tetapi mulai melihatnya seperti media hiburan yang lain. Bahwa ada konten yang sesuai, ada yang tidak, dan mari memulai memilih. Karena sejujurnya, kami bahkan bingung kenapa World of Warcraft masuk ke list ini ketika para ahli melihatnya sebagai sesuatu yang sangat positif.

Blokir

banhammer
Lebih menyedihkannya lagi, solusi terbaik yang bisa ditawarkan untuk saat ini dan hampir untuk semua masalah yang muncul karena isu sepert ini adalah blokir. Tidak suka dengan ini? Blokir. Tidak suka dengan itu? Blokir? Tidak suka dengan apa yang ditulis JagatPlay saat ini karena keinginan kami berbicara jujur? Semoga yang satu ini juga tak berakhir seperti blokir. Jika Kemendikbud, apalagi setelah pernyataan Pak Anies yang sepertinya mengerti soal badan rating, sangat peduli dengan apa yang bisa ditawarkan oleh video game dan mungkin sisi mata pedangnya yang lain untuk Indonesia, kami merasa edukasi justru jadi sesuatu yang lebih penting. Blokir mungkin nyelesaiin masalah sementara, tapi enggak ada pengetahuan dan pemahaman ekstra yang bisa dipetik di sana. Hasilnya? Lebih banyak kesalahpahaman yang berakhir enggak diluruskan dan enggak ngasih pengetahuan apapun. Gua harap kasus yang serupa tidak terjadi di video game ini.
Edukasi adalah awal yang menurut gua pribadi, mulai mesti digalakkin. Kemendikbud tentu punya kekuatan dan kekuasaan untuk melemparkan pemahaman lebih luas soal cara kerja video game ke orang-orang tua yang mungkin enggak familiar dengan sistem seperti ini. Bahwa video game, seperti halnya film, punya sistem rating umur yang dengan jelas bisa mereka periksa di dunia maya untuk dicek kebenarannya dan juga bisa memberikan gambaran seperti apa konten yang bakal ia tawarin, apakah sesuai dengan anak mereka atau enggak. Video game HARUS dilihat seperti film di Indonesia, karena itu mungkin satu-satunya yang bisa dimengerti oleh orang tua yang enggak paham. Kalau lu enggak mau anak lu nonton Basic Instinct atau film semi-bokep lainnya yang biasanya ketahuan dari cover atau rating yang ada, pastiin juga lu memeriksa hal yang sama ketika nyediaiin game buat dimainin anak lu.
Alih-alih langsung main blokir aja, Kemendikbud seperti namanya, menurut gua punya kewajiban lebih mulia untuk mendidik orang tua-orang tua yang gak familiar sama video game ini. Tempelin informasi soal sistem rating di toko-toko retail, pastikan anak-anak yang beli video game memang dapetin game yang sesuai dengan umur mereka, ajarkan soal positif dan negatif interaksi di game online apapun temanya, dan ajarkan soal cara berkomunikasi yang aman ketika terlibat dalam game online. Orang tua semakin tahu dan dewasa, anak juga dilindungi pemerintah, sementara gamer yang sudah dewasa tetap punya kebebasan untuk menikmati game-game yang memang sebenarnya ditujukan ke mereka. Semua senang, tanpa perlu “blokir” datang.
Opsi yang lain adalah mulai memikirkan soal Badan Rating Video Game Indonesia. Namun jangan berakhir jadi sekedar sebuah instansi pemerintah yang dimasuki oleh orang-orang yang mungkin tak mengerti soal konten video game itu sendiri, pastikan bahwa memang mereka yang paham soal industri game lah yang mulai menyeleksi apa yang pantas atau tidak pantas untuk dimainkan oleh anak Indonesia. Pastikan ia berjalan independen seperti yang terjadi dengan ESRB dan PEGI untuk memastikan hasil yang selalu obyektif.
Komentar Pak Anies soal “badan rating” untuk game memunculkan harapan bahwa Bapak mengerti soal industri ini, dan saya pribadi berharap, pengetahuan ini tak berakhir jadi sekedar ketidakpedulian.
Source: Sahabat Keluarga
Previous
Next Post »
Thanks for your comment